Selamat berkunjung ke blog helwanpunya..............

Alhamdulillah, adalah suatu kehormatan anda bersedia berkunjung ke blog ini. terus terang saja, blog ini diharapkan untuk menghimpun para blogger yang mungkin perlu informasi banyak tentang mesjid Al Aqsho dan kebiadaban Yahudi Zionis. Insya Allah kami selama berusaha untuk senantiasa tidak ketinggalan terhadap perkembangan mengenai mesjid Al Aqsho tersebut. Nah...teman-teman inilah blog helwanpunya, atau untuk jalin komunikasi bisa hubungi email saya : helwan1428@yahoo.co.id

Alhamdulillah, dapat juga kita bikin kayak gini. Bagi saya ini adalah hal yang baru, namun berkat ada teman yang kasih info, n bakar semangat, kemudian sedikit bimbingan, trus jadi blog sederhana ini. Rencana saya, ini mudah-mudahan bisa dijadikan media silaturahim, trus tukar pikiran, adu pendapat, sharing info, sarana dakwah dunia maya dan yang terpenting untuk tasyakur kepada Allah Subhanahu Wata'ala.Teman-teman sesama blogger, saya sekarang lagi intens terhadap masalah mesjid Al Aqsho.Bagi kaum muslimin sedunia, mesjid ini adalah situs yang sangat sarat makna-makna historis keislaman dan mengandung keuniversalitasan islam. namun sayangnya, saat ini mesjid Al Aqsho dalam genggaman kolonialisme Yahudi Zionis Israel. So...para blogger, terutama yang peduli betapa beharganya nilai sejarah dan mulianya darah manusia, yuuk kita bantu perjuangan pembebasan mesjid Al Aqsho dan kemerdekaan rakyat Palestina. Kita punya pikiran, kedua tangan, kedua kaki, sedikit harta, dan yang terpenting hati tulus yang senantiasa mendoakan.

Rabu, 09 April 2008

“Politik Islam”, Darimana Asalmu

“…….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu….”(QS. 5:3)

Carut marut perpolitikan di Indonesia tegangannya tak pernah menurun. Senantiasa hangat. Dan, yang membuat lebih hangat lagi adalah bahwa banyak kekuatan yang ambil bagian dalam kancah ini. Sebut saja, “kekuatan islam”, kekuatan sekuler, dan nasionalis. “Kekuatan islam” pun terbagi pula, ada yang (menurut mereka) fundamentalis, dan ada pula yang moderat. Yang jelas beragam & penuh warna.
Oke baiklah, kami sama sekali tidak akan menjadi pengamat politik dadakan. Kami hanya tertarik terhadap klaim dari banyak pihak yang mengatakan, bahwa mereka adalah partai islam, pejuang politik islam, demokrasi islami, pemimpin (presiden) yang islami, dan bahkan negara islam. Intinya mereka sangat menginginkan islamisasi pada setiap symbol politik, tanpa peduli apakah politik itu islami atau bukan.
Mestinya mereka yang sudah terlanjur beranggapan seperti itu betul-betul memahami dengan penuh keyakinan, bahwa islam punya prinsip keutuhan. Utuh dalam arti:

1. Kita meyakini dan menyikapinya sebagai agama yang telah kamil (sempurna) tanpa ada cacat & cela. Segala aturan yang diperlukan demi kemaslahatan seluruh umat manusia dalam semua aspek hidupnya, telah tecantum didalamnya, tiada yang tertinggal. Dari hal-hal yang terlihat sepele, misalnya tentang bagaimana tata cara masuk dan keluar WC, hingga pada masalah yang paling prinsip dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali (contohnya antara lain: kewajiban memiliki Imamul Muslimin, larangan berpecah belah, ketentuan jihad fi sabilillah, dan berbagai macam ibadah mahdhoh). Dalam hal ini Allah berfirman, yang artinya:
“…….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu….”(QS. 5:3)
“….Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan”. (QS. 6:38)
“…Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. 16:89)
Oleh karenanya, sampai kapan pun tidak perlu ada penambahan, pengurangan, dan penggantian ajaran islam, apalagi sampai rekonstruksi ulang. Apapun alasannya. Kalau ada yang berfikir perlu peremajaan kembali atau penyesuaian beberapa unsur dalam ajaran islam lantaran ada beberapa hal yang dianggap sudah tidak sesuai dengan jaman, maka mereka sama saja dengan meragukan kesempurnaan islam, yang pada gilirannya berarti menggugat ke-Maha Benar-an Allah,- Naudzubillahi mindzalik - sebab Dia lah yang telah melegitimasi kesempurnaan agama tersebut dengan firman Nya sebagaimana ayat di atas.
Lantas bagaimana sebenarnya Allah memposisikan kita, para penganut islam ini? Jawabannya, tak lebih dari pengamal dan penyampai. Tepatnya mengamalkan apa yang telah Allah gariskan melalui petunjuk Rasul Nya, kemudian menyampaikan seruan, yakni: amar ma’ruf wa nahi munkar (memerintahkan kepada yang baik dan melarang perbuatan jahat).
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka):"Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu,serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa". (QS. 7:171)

“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. 36:17)
Lebih dari itu semua, ternyata selain ia telah lengkap, pun petunjuk hidup yang ditawarkan oleh islam adalah solusi terbaik dari setiap permasalahan kehidupan yang terjadi. Kita tidak akan menemukan petunjuk lain yang sebaik islam. Karena islam adalah agama fithrah manusia sementara selainnya menyelisihi fithrah. Islam, kitab sucinya dipelihara oleh Allah, sementara selainnya penuh dengan kontaminasi kebatilan. Kesimpulannya, perbandingan islam dengan petunjuk hidup yang lain, adalah sebagaimana perbandingan haq dengan batil.
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”. (QS. 10:32).

2. Nah, kalau agama yang diturunkan oleh Allah ini telah sempurna, lengkap, up to date, dan terbaik, adakah alasan untuk menolaknya? Atau menerimanya sebagian-sebagian?. Orang yang memiliki akal fikiran (kemudian dipergunakan sebaik-baiknya) tentu saja ia akan: Utuh menerima. Inilah prinsip keutuhan yang kedua: Utuh menerima dan mengamalkan islam. Dalam bahasa agama, masuk ke dalam islam secara kaaffah (keseluruhan).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. 2:208).
Islam ibarat mata rantai yang saling terikat antara satu sama lain. Ia menyatu dan tidak mungkin dipisah-pisahkan. Menolak salah satu ajarannya sama dengan menolak seluruhnya. Mengimani sebagian namun disaat yang sama mengkufuri sebagian yang lain berarti benar-benar menjadi kufur. Keluar sekedar sejengkal dari Al jama’ah (sebutan untuk kelompok al haq dari kaum muslimin) maka akan terlepas ikatan islam dari lehernya. Begitupula keimanan yang situasional, berada di dalam islam hanya di “pinggir-pinggir”, bila ada yang menyenangkan hatinya ia tetap “beriman”, namun jika ada ujian secepat kilat ia keluar dari barisan keimanan. Seperti itulah cara orang-orang munafiq mengimani dan menyembah Allah.
Berikut ini beberapa ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang keimanan tidak utuh sebagaimana yang disebutkan di atas:
“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. 4:150-151)
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (QS. 22:11)
“Maka barang siapa yang keluar dari Al jama’ah walau kadar sejengkal maka terlepas ikatan islam dari lehernya, hingga ia kembali”. (HR. Ahmad).
Masih dalam konteks ini, tidak berbeda halnya dengan amal-amal islami, yang antara lain seperti sholat, zakat, shoum, hajj, dan lain sebagainya. Semuanya dituntut untuk dilaksanakan dengan sempurna. Contoh salah satunya adalah sholat yang harus mencakup: kekhusyuan, kaifiyatnya sesuai dengan contoh Rasulullah, niat yang ikhlas, dan tepat waktu. Sebaliknya jika ia dilaksanakan dengan tidak utuh (riya, tidak khusyu, dan lalai waktu) maka nilainya menjadi cacat, seperti sholatnya orang-orang munafik yang boro-boro diganjar pahala, justru neraka wail balasannya. Naudzubillahi mindzalik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. 4:142)
“Maka kecelakaanlah (neraka Wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. (QS. 107:4-5).

3. Utuh menjadikan Allah ‘Azza Wa Jalla sebagai satu-satunya Ilah dan Robb, dengan segala konsekuensinya. Sebagaimana yang terangkum dalam kalimat tauhidullah: La ilaaha illallah (tiada ilah melainkan Allah).
Inilah sebenarnya inti dari benar tidaknya agama seorang hamba. Ini pulalah yang menjiwai aplikasi setiap ajaran agama. Ia ibarat akar dari seluruh cabang-cabang syariat. Apabila kalimat tersebut kokoh bersemayam di dalam dada seorang muslim insya Allah menjadi jaminan baginya bahwa ia telah shodiq beragama. Sebaliknya, jika rapuh, pasti agamanya goyah bahkan roboh. Terdapat beberapa ayat Al quran yang berkenaan dengan masalah ini, yakni QS. Ibrahim ayat 24-27, menurut Tafsir Jalalain, yang dimaksud kalimat “Thoyyibah” pada ayat tersebut adalah : Laa ilaaha illallah.
“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dala kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (QS. 14:24-27)

Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik.Bertasbih Kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 59:23-24)

Utuh menjadikan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai satu-satunya Zat yang disembah adalah ketika kita mengimani seluruh asma dan sifatNya. Iman di sini dalam arti yang sebenarnya dengan segala tuntutannya. Keyakinan dan penghayatan terhadap semua keagungan Al Asmaul Husna terajut dengan indah dalam tataran aqidah kita tanpa ada penolakan walau sebesar zarrah sekalipun. Kita meyakini bahwa Ia adalah Ar Razzaq (Maha pemberi Rezeki), artinya seluruh rezeki yang dinikmati setiap makhluq pasti berasal dari Nya. Begipula, Ia adalah Al ‘Aly (Yang Maha Tinggi), Al Muhyi wal Mumit (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan), Al Khaliq (Yang Maha Pencipta), Al Hay (Yang Maha Hidup), Al Haq (Yang Maha Pasti/Benar), Al Muhaimin (Yang Maha Memelihara) dan seterusnya.
Sebaliknya, ketidak utuhan keimanan terhadap salah satu Asma dan Sifat tersebut adalah bentuk penyekutuan (syirik) kepada Nya. Sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al Quran, beberapa orang hamba Nya menolak ke-Maha-an Nya. Fir’aun mengklaim bahwa dirinyalah Tuhan yang paling Tinggi (QS. 79:24), ini sama saja dengan menolak asma Allah Al ‘Aly. Qorun, mengatakan bahwa tidaklah harta datang kepadanya melainkan karena kepandaianya (QS. 28:78), ini sama dengan menolak asma Allah Ar Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Raja Namrudz mengatakan kepada nabi Ibrahim, bahwa ia dapat menghidupkan dan mematikan (QS. 2: 258), ini berarti menolak asma Allah Al Muhyi wal Mumit. Begitupula, prilaku orang-orang musyrik yang memecah belah agama menjadi bergolong-golongan dan saling membanggakan golongan mereka (QS. 30:31-32), ini tidak berbeda dengan mereka yang menolak asma Allah Al Muhaimin (Maha Pengatur). Orang-orang yang Allah sebut sebagai kafir, zalim dan fasik karena mereka tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah (QS. 5:44,45 & 47), mereka pada hakikatnya tidak mengimani asma Allah Al Hakim (Yang Maha Memutuskan). Masih dalam konteks ini, beberapa riwayat menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras orang-orang yang meratapi mayat, sampai menangis meraung-raung, memukul-mukul wajah, dan merobek-robek pakaian. Penegasan dari Beliau ini sangat penting, karena semua perilaku tersebut menunjukkan ketidak imanan kepada Allah, bahwa Ia Maha berKehendak (Al Qadir).
Masih banyak ayat-ayat Al Quran, hadits Rasulullah, maupun tarikh yang berkaitan dengan masalah ini. Intinya, keutuhan keimanan kepada Allah dengan seluruh Asma dan Sifat Nya adalah mutlak bagi eksistensi aqidah seorang hamba. Sekali lagi ini mutlak utuh.
Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai'Arsy
yang besar". (QS. 27:26)
***

Begitulah 3 prinsip keutuhan yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, demi mempertahankan kemurnian agama mereka.
Lantas apa sebenarnya relevansi semua ini dengan “politik islam” sebagaimana judul tulisan yang tercantum di atas ?
Relevansinya adalah, bahwa ternyata landasan pemikiran “politik islam” tidak mengakar pada prinsip keutuhan ini. Bahkan ia sebenarnya telah lahir dan tumbuh subur dari pemahaman yang setengah-setengah atau sepotong-potong. Sebagai contoh, mereka memandang dalam literatur islam diketemukan ada semacam konsep yang memuat mekanisme pemerintahan, kekuasaan, dan perundang-undangan maka ini adalah substansi politik yang menjadi dasar penegakan pengembangan system politik dalam islam. Contoh lainnya, mereka juga menemukan ada substansi demokrasi. Maksudnya ada sesuatu yang mirip dengan proses demokrasi, seperti ada kebebasan mengeluarkan pendapat, serta adanya proses peradilan bagi sang pemimpin tertinggi, maka serta merta mereka mengklaim demokrasi adalah islam atau demokrasi islami. Ketika mereka melihat dalam lintasan sejarah islam, pada masa Rasulullah, diketemukan adanya seorang pemimpin (yakni Rasulullah, dilanjutkan para kholifah), kemudian ada rakyat (umat islam) yang dipimpin, serta ada territorial Madinah, ada perjanjian kaum muslimin dan pihak Yahudi, maka spontanitas mereka mengatakan ini adalah konsep negara, lantas kemudian popular istilah Negara/Daulah Islam Madinah. Berikutnya, tatkala mereka menemukan bahwa ternyata para kholifah pengganti kepemimpinan Rasulullah, adalah orang-orang suci (al muqaddas) yang “memerintah” atas nama Allah, maka serta merta mereka memutuskan bahwa model “pemerintahan islam” adalah Teokrasi. Begitupula halnya, ketika mereka melihat ada “partai” Anshor dan ada “partai” Muhajirin pada masa Rasulullah, maka dapat ditebak, mereka pun mengklaim system partai ada sunnah dari para shahabat. Atau masih dalam konteks ini, banyak pula yang dengan penuh keyakinan memahami bahwa islam adalah agama yang telah sempurna dan universal oleh karenanya sebagai wujud dari kesempurnaannya ia pun harus memuat sendi-sendi politik, karena politik saat ini adalah tuntutan jaman. Perjuangan li I’la kalimatillah tidak mungkin dilakukan melainkan harus ditunjang dengan system politik. Sebagai implementasinya, maka direkomendasikanlah kalimat penegasan oleh para intelektual muslim: La budda illa bi hizbin (tidak boleh tidak melainkan dengan partai). Dan “partai Islam” pun lahir. Ada lagi yang lain. Yakni mereka yang selembe mengatakan bahwa politik hanyalah suatu cara atau metode belaka. Ia sangat tergantung kepada siapa yang memerankan. Apabila orang yang berperan baik, tujuannya pun baik maka politik akan menjadi baik. Begitupula sebaliknya.
Berbagai argumentasi di atas baru sekelumit, masih banyak alasan-alasan lain yang akan terus kita dengar dari mereka yang terlanjur menjadikan system politik (dengan segala bentuknya) sebagai manhaj perjuangan penegakan islam. Dan pemahaman seperti tersebut di atas sudah sangat meluas. Bahkan tidak berlebihan kalau kami katakan mayoritas dari kaum muslimin berpendapat demikian.
Namun tentu saja kita tidak boleh gegabah dalam hal ini. Bukan berarti banyaknya alasan dari mayoritas muslimin tersebut mengharuskan kita untuk membenarkan mereka, karena kebenaran mutlak milik Allah. Kebenaran absolute berdasarkan pada standar yang telah Allah tetapkan. Kebenaran sama sekali tidak berkaitan dengan banyak atau sedikit orang yang berpihak kepadanya. Bahkan biasanya kebenaran Ilahi menunjukkan jumlah yang sedikit, sebaliknya hati-hati dengan banyaknya jumlah, biasanya justru batil dan menyesatkan, seperti yang disebutkan pada ayat-ayat berikut ini:
“Alif laam miim raa.Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab (al-Qur'an).Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya)”. (QS. 13:1)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya……” (QS. 6:116)
“Dan mereka berkata:"Hati kami tertutup". Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman”. (QS. 2:88)
Semestinya terhadap pelbagai alasan yang dikemukakan di atas dijawab satu-persatu, namun selain karena keterbatasan ruang pada kolom ini, kami juga melihat sebenarnya ada benang merah yang menghubungkan seluruh alasan-alasan di atas. Yakni ternyata semuanya alasan tersebut tidak ditegakkan melainkan atas dasar persangkaan belaka. Mereka hanya mengira-ngira, dan memungut sinyal-sinyal samar yang dirasakan tepat menjustifikasikan keberadaan politik islam. Padahal ini jelas keliru. Selamanya persangkaan tidak punya kapasitas untuk menentukan kebenaran.
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. 10:36)
Pada kenyataannya, tidak ada dasar yang jelas dan tegas yang dapat dinukil dari dalam Al Quran dan As Sunnah untuk dijadikan hujjah dalam masalah ini. Yang ada, malah sebaliknya, berbagai hujjah yang memberikan petunjuk kepada kita untuk kembali kepada Allah dan Rasul Nya, tinggalkan tata cara perjuangan politik dalam islam.

1. Setiap konsep Politik dimasa kapan pun harus dikaitkan dengan sejarah pencetusannya pertama kali, yakni oleh pemikir-pemikir Yunani (Plato dan Aristoteles), yang masanya jauh sebelum islam. Bagi muslimin, jelas sangat tidak layak untuk mengadopsi konsep Plato cs untuk dijadikan manhaj perjuangan.

2. Kata politik, jika dianalogikan ke dalam bahasa Arab, adalah berasal dari kata Assiyasah (Assiyasah Asysyar’iyyah / politik keagamaan, dicetuskan oleh Ibnu Taymiyah). Menurut Quraisy Shihab, kata Assiyasah berasal dari akar kata sasa-yasusu (berarti: mengemudi, mengendalikan). Ternyata dalam al quran tidak diketemukan kata yang terbentuk dari akar kata tersebut.

3. Kata Dawlah (berarti Negara), Dustur dan Qanun (perundang-undangan), yang merupakan wujud nyata system politik, ternyata tidak dapat diketemukan kalimatnya dalam Al Quran, as sunnah, bahkan dalam bahasa Arab klasik sekalipun.

4. Dimulainya system politik dalam lintasan sejarah kaum muslimin berarti dimulainya masa yang penuh dengan gumpalan fitnah. Berbagai tindak kezaliman (pembunuhan sesama muslimin, penyelewengan syari’at, ashobiyah, dll) terjadi tiada henti. Sistem politik yang dimaksud di sini adalah, dengan berdirinya kekuasaan Bani Umayyah, tahun 41 H/ 662 M dan dilanjutkan dinasti-dinasti berikutnya. Adapun masa dari Rasulullah, Abu Bakar hingga Aly bin Abi Thalib adalah masa kepemimpinan yang berpijak pada wahyu Allah (masa An Nubuwwah dan Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah).

5. Kehidupan muslimin semakin tenggelam dalam lautan fitnah semenjak runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani (juga kekuasaan politik) tahun 1924. Krisis multi dimensi melanda seluruh pelosok kaum muslimin. Pola perjuangan politik semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Timbulnya nasionalisme, berbagai partai, negara-negara islam, kerajaan-kerajaan islam, dan kelompok-kelompok lainnya. Inilah masa tafarruq.

6. Bersihnya pola perjuangan islam dari politik bukan berarti islam tidak memiliki system kepemimpinan dan kemasyarakatan yang dapat mengakomodir seluruh kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, inilah system terbaik yang pernah ada di muka bumi. Yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, menjadi kekuatan bagi mereka, melindungi mereka dari seluruh fitnah dunia,menjadi syarat kesempurnaan ibadah, dan akhirnya mampu mengantarkan mereka pada keridhoan Alla dunia dan akhirat. Pola yang dimaksud adalah : “Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah” (kepemimpinan yang berada di atas jejak kenabian), dengan hanya satu pemimpin (Kholifah) untuk seluruh dunia dan satu wadah jama’ah, yakni Jama’ah Muslimin (berdasarkan hadits Rasulullah, HR. Ahmad, Bukhar dan Muslim).
Wallahu a’lam bish showwab. iR

Perpecahan, selamanya NO !

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. 3:105)


Peluang untuk berpecah belah bagi umat ini (islam), sebenarnya telah Allah tutup rapat-rapat. Mulai dari larangan dan celaan terhadap berpecah belah yang Allah tegaskan dalam banyak ayat al quran, hingga keniscayaan kaum muslimin yang Allah satukan dalam semua hal prinsip. Mereka disatukan dalam penyembahan kepada Rabb yang sama, berpedoman pada kitab yang sama, memiliki Nabi yang sama, kiblat yang sama, syari’at yang sama, disebut dengan nama yang sama, dan sejarah yang sama. Itu semua supaya tidak ada celah lagi bagi mereka (kaum muslimin) untuk berpecah belah.
Apa sebenarnya perpecahan itu?
Tentu saja kita harus terlebih dahulu sedikit banyak mafhum apa itu perpecahan, serta berbagai hal yang berkaitan dengannya, sebelum lebih jauh membahasnya.
Dalam Al Quran dan literature as sunnah kata yang membentuk makna perpecahan lebih banyak berasal dari kata fa-ro-qo, yang menurut kamus Al Bisri memiliki arti: Memisahkan, membedakan dan membelah. Begitupula kata Iftaroqo (-al qoum): Berpisah-pisah, bercerai berai; dan Al Farqu, yakni ikhtilaf yang berarti perbedaan.
Sesuai dengan kata dasar fa-ro-qo sebagaimana diatas, kata-kata bentukan dari kata dasar tersebut dalam al quran maupun as sunnah memiliki penjelasan makna yang selaras. Ada benang merah yang menghubungkannya antara satu dengan lainnya, yakni: Berselisih, bercerai berai, dan kelompok kebatilan. Untuk lebih lengkapnya, di bawah ini dketengahkan tiga penjelasan:
1. Tafsir Maroghiy (Juz VII, hal 45) menafsirkan kata Faroqo dinahum (QS. 30:32): Mereka berselisih dalam hal penyembahan (kepada Allah), karena perbedaan hawa nafsu mereka.
2. Shahabat Aly bin Abi Thalib, mendefenisikan Al furqoh (perpecahan) adalah berkumpulnya ahlul bathil sekalipun mereka banyak (Hamisy Musnad Ahmad bin Hambal:I/109).
3. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa kalimat Innalladziina farroqu dinahum (Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya, QS. 6:159) adalah : “Oleh sebab mereka bercerai-berai di dalamnya, yaitu mereka mengambil sebagian peraturannya dan meninggalkan sebagian yang lain”. Kemudian kalimat: wa kaanuu syiya’a (dan mereka menjadi bergolong-golongan) ditafsirkan dengan: “Menjadi bersekte-sekte dalam masalah agama. Mereka berpecah belah, dan meninggalkan agamanya yang harus mereka peluk. Mereka adalah orang Yahudi dan Nashrani. (Terj. Tafs. Jalalain, Jilid I, Hal.608).

Begitulah, tiga penjelasan di atas insya Allah memberikan gambaran yang kuat tentang defenisi dari Perpecahan (Tafarruq). Namun demikian tetap diperlukan pengenalan lebih jauh terhadap masalah ini. Mengingat, sepertinya wujud Tafarruq saat ini sudah bermetastasis (menyebar luas) dan bermetamorfosis (dalam wujud yang baru), lantaran kemasan kemaksiyatan dan kebatilan secara umum yang kian “professional”. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir. Deteksi tafarruq tidak akan kehilangan jejak. Karena Allah, dengan sangat gamblang memaparkan ciri, bentuk, penyebab, dan akibat tafarruq dalam alquran. Begitupula Rasulullah telah memberikan gambaran teknis yang sangat akurat, termasuk situasi fitnah tafarruq yang menimpa muslimin akhir zaman. Berikut ini adalah berbagai penjelasan yang berkaitan tentangnya:

Larangan berpecah belah dalam menegakkan ad dien adalah wasiyat Allah kepada para Nabi. “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya …….” QS. 42:13
Allah melarang kaum mu’minin agar jangan sampai mereka menyerupai umat terdahulu yang berpecah belah setelah datang keterangan yang jelas terhadap mereka. “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”, (QS. 3:105)

Perpecahan adalah prilaku orang yang menyekutukan Allah. “… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS. 30:31-32)

Memecah belah agama sehingga bergolong-golongan, yang setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka, adalah kesesatan. “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu”. (QS. 23:54)

Kaum muslimin akan terpecah menjadi 73 golongan (firqoh), hanya satu yang menjadi jalan ke Jannah. “Ingatlah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab itu berpecah belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, yang 72 di dalam neraka, sedang yang satu di dalam syurga, yaitu al jama’ah. Dan sesungguhnya akan ada dari umatku beberapa kaum yang dijangkiti oleh hawa nafsu sebagaimana menjalarnya penyakit anjing gila dengan orang yang dijangkitinya, tidak tinggal satu urat dan sendi ruas tulangnya, melainkan dijangkitinya” Hadits Rasulullah riwayat Abu Dawud, dan Ahmad, dari Muawiyah bin Abu Sofyan)

Tinggalkan seluruh firqoh (golongan) jika tidak ditemukan Al Jama’ah. “……Aku (Hudzaifah bin Yaman, pen.) bertanya: Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam? Rasulullah bersabda: Hendaknya engkau menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian” HR. Bukhari & Muslim.

Kondisi perpecahan adalah bagian dari ‘azab Allah. “Al Jama’ah itu rahmah, dan firqoh (perpecahan) itu adalah ‘azab” Hadits Rasulullah riwayat Ahmad dari Nu’man bin Basyir.

Dalam lintasan sejarah, perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam sebenarnya telah dimulai jauh sebelum masa sekarang ini, tepatnya pada kekholifahan Utsman bin ‘Affan. Ada beberapa penyebab, diantaranya adalah:
1. Kualitas iman sebagian kaum muslimin sudah mulai terkontaminasi oleh penyakit al wahn (cinta dunia dan takut mati), sehingga ukhuwwah diantara mereka mudah terprovokasi oleh pihak luar yang sengaja ingin menghancurkan islam dari dalam.
2. Perilaku tidak thoat dan tidak shobar terhadap kekholifahan Utsman di kalangan sebagian kaum muslimin yang mencetuskan berbagai pemberontakan.
3. Figur sentral fitnah Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang berpura-pura masuk islam dan bekerja keras memecah belah umat islam dengan menghembuskan angin fitnah terhadap Kholifah, kaum muslimin bahkan ajaran islam. Hasilnya, muslimin kualitas rendah terpengaruh kemudian melancarkan gerakan pengkhianatan terhadap kholifah, begitupula timbulnya sekte lain yang keluar dari jalur islam (yakni Syi’ah).

Sungguh sangat menyesakkan dada akibat yang ditimbulkan oleh perselisihan dan perpecahan tersebut. Harga mahal yang harus dibayar adalah:
1. Syahidnya Kholifah Utsman bin ‘Affan ditangan pemberontak
2. Syahidnya Kholifah ‘Aly bin Abi Thalib (pengganti Utsman) di tangan orang suruhan golongan Khowarij
3. Bergesernya pola kepemimpinan kaum muslimin dari Khilafah ‘ala min haajin Nubuwwah (Kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian, yakni dari Abu Bakar hingga Ali) kepada pola kepemimpinan Mulkan (Kerajaan/Dinasti)
Selanjutnya, setelah tiga hal diatas, betul-betul masa fitnah dengan ditandai berbagai pembunuhan antar sesama muslim, penyimpangan akidah, perampasan hak, penyelewangan baitul maal, penganiayaan, dan lain sebagainya. Inilah kenyataan pahit, namun itulah Kehendak Allah yang telah terjadi. Relevan dengan masalah ini terdapat sebuah hadits Rasulullah: Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah, berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Adalah masa kenabian (an nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala min haajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adhon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Iatelah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala min haajin nubuwwah). Kemudian beliau diam”. HR. Ahmad dan Baihaqi.
Perselisihan dan perpecahan terus berlangsung. Pada masa-masa berikutnya umat islam malah terkotak-kotak dalam bingkai ashobiyah kesukuan, nasionalisme, golongan-golongan, partai, paham-paham, dan berbagai fikrah. Mereka menjadi sesuatu yang lain, yakni hidup tidak terpimpin, dan tidak menyatu. Mereka telah keluar dari fitrah penegakan dien islam, kemudian hidup dalam kungkungan system yang merongrong akidah, ukhuwwah, ibadah dan akhlaq. Begitulah yang terjadi hingga saat ini.
Bagaimana solusinya ?

a. “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS. 6:153)
b. Agar ditunjukkan oleh Allah kepada jalan yang lurus, adalah dengan cara berpegang teguh kepada agama Allah. Firma Allah: “Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. 3:101)
c. Berpegang teguh kepada tali agama Allah adalah dengan cara biljama’ah, yakni hidup dalam satu kesaytuan muslimin yang dipimpin oleh seorang imam dalam wadah Jama’atul Muslimin (QS. 3:103, dan HSR. Bukhari Muslim)

Jadilah Pemaaf

Sebelum hijrah ke Madinah, adalah perjalanan dakwah yang sangat menyedihkan. Rasulullah dan para shahabat betul-betul menjadi bulan-bulanan penyiksaan orang-orang musyrikin Makkah. Shahabat Yasir sekeluarga mengalami siksaan yang amat kejam hingga syahid terjadi didepan mata Beliau. Diseret di panas teriknya padang pasir, ditombak, dijemur telentang, ditindih dengan batu besar, ditenggelamkan di dalam kubangan. Begitu pula yang dialami oleh Bilal bin Rabah, Khabbab bin Al ‘Art, Mushab bin ‘Umair, Abudzar Al Ghifar, dan lain-lain. Bahkan pribadi Beliau sendiri tidak luput dari perbuatan kejam kafir Quraisy.
Karenanya, kalau sekiranya perbuatan balas dendam diperbolehkan dalam islam, maka sepertinya beliau dan para sahabat lah yang paling pantas untuk melakukannya. Lantaran mengalami kekejaman yang teramat sangat itu.
Namun Rasulullah, Muhammad Saw adalah manusia yang paling mulia yang pernah Allah utus menjadi Nabi. Kasih sayang beliau sungguh teramat besar, sehingga jauh melebihi rasa ingin membalas setimpal kejahatan yang terjadi. Allah mengabadikan keindahan kasih sayang beliau ini dalam Al Quran:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. 9: 128-129)
Lantas apakah yang dilakukan oleh Beliau kepada orang-orang Makkah tersebut disaat mampu membalas kekejaman mereka, yakni ketika Fathul Makkah (Pembebasan kota Makkah)? Disebutkan dalam Fiqhus Sirah:
Tidak lama setelah itu kota Makkah tenang kembali, tokoh-tokoh Makkah dan para pengikutnya menyerah tanpa syarat. Rasulullah menuju Baitullah. Setelah thawaf Beliau menghancurkan berhala-berhala dan patung-patung yang ada di sekitar Ka’bah. Kemudian Beliau mengarahkan pandangan kepada orang-orang Quraisy yang berdiri dalam beberapa barisan menunggu keputusan Beliau mengenai nasib mereka. Beliau bersabda: “Tiada Tuhan selain Allah, yang telah memenuhi janji Nya, telah menolong hamba Nya, dan telah pula mengalahkan pasukan Ahzab”. Setelah itu Beliau bertanya: “Hai Orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, tindakan apakah yang hendak kuambil terhadap kalian?” Mereka menyahut serentak: “Tentu yang baik-baik! Hai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia”. Beliau lalu bersabda: “Kukatakan kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya: Tidak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua! Kalian semua bebas!”. (Sirah Ibnu Hisyam, dikutip oleh Muhammad Al Gazali).
Tidak hanya itu, diantara 15 orang yang diancam hukuman bunuh lantaran permusuhan yang sudah melampaui batas terhadap islam, hanya 5 orang yang benar-benar dieksekusi. Selebihnya, sepuluh orang, dimaafkan. Yang lima orang itu pun karena mereka tetap ‘istiqomah’ memusuhi islam dan membenci pribadi Rasulullah, walaupun telah diberi kesempatan untuk mendapatkan pengampunan.
Nah, mengapa harus memelihara sifat dendam? Jadilah pemaaf mulai sekarang. “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (QS. 7:199)



Ketika Hawa Nafsu Menjadi ‘Tuhan’

Hawa nafsu Allah cipta untuk manusia, sesungguhnya merupakan bagian dari karunia Nya. Dengan hawa nafsu dunia jadi begitu berarti bagi manusia. Mereka bisa merasakan keindahannya dan menikmati berbagai perhiasan yang terdapat di dalamnya. Semua itu, dalam rangka agar dapat membantu manusia dalam menyelesaikan dengan baik ‘tugas’ yang Allah pikulkan di muka bumi, sebagai kholifah.
Namun pada kenyataannya, yang terjadi adalah manusia telah kebablasan dalam berinteraksi dengan hawa nafsunya. Mereka memperturutkan hawa nafsu, memenuhi setiap saat dorongan hawa nafsu. Hawa nafsu menjadi tolak ukur tunggal. Keindahan, kemuliaan, kehormatan, cinta, benci, semua diukur dengan hawa nafsu belaka. Bahkan dalam menerima, menolak, mengerjakan maupun meninggalkan sesuatu tunduk pada ketentuan hawa nafsu. Akhirnya sampai pada tingkat yang paling prinsip, benar-salah pun ditimbang dengan hawa nafsu semata. Kalau sudah demikian, mereka sebenarnya sedang mempertuhankan hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya? Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS. 45:23)
Apa jadinya jika manusia seperti itu? Jawabnya Cuma satu, yakni pasti terjadi kerusakan. Kerusakan dimensi fisik, seperti alam beserta apa yang ada di atasnya, baik di darat maupun di laut. Kemudian kerusakan non fisik, seperti akhlak, moral, spiritual, dan lain sebagainya. Fakta tentang hal ini tidak terlalu sulit untuk didapat, karena sudah sangat banyak. Seperti: Hutan yang gundul, tanah yang longsor, laut yang tercemar dan terkuras, lubang ozon yang semakin membesar, pembunuhan, pemerkosaan, pemerasan, perampokan, pencurian, korupsi, perzinahan, dan lain sebagainya. Lebih celakanya lagi kerusakan ini cenderung meningkat baik segi kuantitas maupun kualitas.
Allah dalam alquran menegaskan tentang hal ini:
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. 23:71)
Padahal sesungguhnya Allah telah sangat terang memberikan pengajaran bagaimana cara menempatkan dan mengendalikan hawa nafsu. Agar ia justru berpotensi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, turut memelihara kemuliaan dan mempertahankan kemanusiaannya.
Sejak belum terlahir, disaat ruh baru ditiupkan Allah telah mengambil janji dan menanamkan fitrah bagi manusia (QS.7:172). Kemudian Ia mengilhamkan ketaqwaan dan fujur (fasik), QS.91:8. Ketaqwaan untuk diikuti, kemudian fujur sebagi ujian. Selanjutnya Allah utus Rasul untuk menjadi contoh teladan bagi mereka (QS. 33:21), dengan syariat yang telah baku dan sempurna (QS.5:3). Allah balas dengan kebaikan berlipat ganda setiap upaya positif yang mereka lakukan. Sebaliknya Dia tegur dengan sedikit ujian dan musibah terhadap penyimpangan yang terjadi. Akhirnya, Allah janjikan mereka kenikmatan abadi di syurga bagi yang berhasil menundukkan hawa nafsu demi mencapai ketaqwaan. Begitupula siksaan selamanya di neraka terhadap yang melakukan kebalikannya. Lengkap sudah. Lantas apa yang kurang?
Begitulah, sebenarnya dunia ini hanyalah negeri ujian. Dan ternyata hawa nafsu adalah ujian terpenting. Apakah kita menundukkannya sehingga yang keluar darinya hanya kebaikan belaka. Atau justru memperturuti seluruh gerak-geriknya kemana pun ia membawa kita.
Akhirnya, sungguh beruntung mereka yang memiliki nafsu, namun senantiasa dirahmati Allah. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 12:53)

“…….maka kembalilah kepada Allah”

Bencana berdatangan silih berganti. Kebakaran, banjir, gempa bumi, badai, tanah longsor, kemarau, dan seterusnya. Apakah ia terjadi berkorelasi positif dengan akhlak manusia yang semakin tidak beradab? Tentu saja. Maraknya pencurian hingga perampokan, korupsi, pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan atau perzinahan, dan lain-lain, adalah buktinya. Ironis memang. Justru kerusakan dipelopori oleh makhluk yang bahkan dicipta untuk menjadi sponsor kebaikan dan perdamaian. Akan tetapi itulah manusia.
Sebenarnya isyarat bahwa manusia identik dengan problem kerusakan di muka bumi sudah terlihat ketika ia baru akan dicipta, dan diungkapkan oleh Allah kepada para malaikat.
“Dan (ingatlah) ketika Allah telah berfirman kepada para malaikat: “Aku akan menjadkan khalifah di bumi”. Mereka (para malaikat) lalu berkata: Apakah Engkau akan menjadikan makhluq yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami selalu mensucikan-Mu dengan memuji-Mu serta memuliakan-Mu?”. Allah berfirman: “Aku mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui”. (QS.2:30).
Kerusakan dan pertumpahan darah yang disinyalir para malaikat benar-benar telah terjadi. Bahkan sudah dimulai disaat dunia baru ‘seumur jagung’. Ketika Qobil, putra Adam ‘alahisallam, menumpahkan darah saudaranya sendiri, Habil. Hingga sekarang dosa rintisan Qobil ini sepertinya akan terus berlangsung, dengan kwantitas dan kwalitas yang cenderung meningkat. Apakah manusia harus senantiasa identik dengan kerusakan dan pertumpahan darah? Jawabannya adalah “tidak” apabila ia senantiasa mengikuti seruan fithrah dirinya yang telah Allah ilhamkan kepadanya melalui potensi ketaqwaan. Potensi yang pasti akan bersenyawa dengan jalan dan aturan Allah demi mengaplikasikan akhlaq karimah dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Itulah jalan yang lurus. Kalau sudah demikian, bukan hanya sekedar terhindar dari prilaku merusak dan menumpahkan darah bahkan mereka bisa menjadi makhluq kesayangan Allah yang derajat kemuliaannya melebihi makhluq lainnya termasuk malaikat sekalipun.
Atau jawabannya bisa : “ya”, bila mereka memperturutkan hawa nafsunya. Tunduk patuh pada potensi fujur (fasik) -juga diilhamkan kepadanya, hanya sebagai ujian-, menghambakan diri kepadanya. Terparah sampai pada tingkat me-Tuhan-kan hawa nafsu. Yakni dengan menyerahkan semua loyalitas dan pengabdian untuk eksistensi hawa nafsu belaka. Segala rasa cinta, benci, sedih senang, bahagia, sengsara, untung-rugi, ditakar dengan standar hawa nafsu. Akhirnya tidak ada kebenaran yang hakiki, semuanya serba semu dan relatif. Setiap orang punya aturan dan cara tersendiri untuk menentukan benar atau salah, diikuti atau ditinggalkan. Disebutkan dalam Al Qur’an:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Alah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan mengadakan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” QS. 45:23
Kondisi seperti ini yang mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan di muka bumi serta pertumpahan darah, sebagaimana yang disebut di atas. Hanya saja, anehnya justru jejak ini yang paling banyak diminati bahkan dijadikan trendy dari zaman ke zaman. Oleh karena itu pantas kalau kemudian Allah mengkarakterkan manusia sebagai makhluq yang amat ingkar, zalim, bodoh, tidak pandai bersyukur, kikir, dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, tiada yang diberikan dan disediakan untuk manusia oleh Allah melainkan kebaikan belaka, sebagai bentuk kesempurnaan kasih sayang-Nya. Allah memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian melanjutkan penciptaan keturunannya dari sari pati air yang hina (Nuthfah/sperma). Lantas Ia menjaga proses ‘kejadiannya’ dalam ruang yang kokoh (uterus/rahim) sedemikian rupa, dengan berbagai mekanisme pertumbuhan dan perkembangan. Padahal pada fase ini manusia belum ada apa-apanya, ia baru sebentuk gumpalan yang sangat sensitive dan rawan. Hanya sekedar goncangan dan benturan kecil bisa menghentikan pertumbuhannya, lalu mati. Namun Allah menyelimuti dengan fasilitas perlindungan yang sempurna, sampai ia terlahir ke dunia, ia telah dinanti berjuta sarana hidup yang akan memelihara keberlangsungannya, memudahkan gerak perjalanannya. Tanah yang menumbuhkan beragam tanaman sebagai salah satu unsur terpenting dari zat makanan, kemudian komposisi udara yang ideal pembentuk pernafasan, cahaya matahari sebagai sumber energi, air syarat mutlak kehidupan, binatang, awan, sirkulasi hujan, gunung-gunung, hutan, sungai, danau, laut bahkan sampai struktur alam yang lebih makro: matahari ‘dan kawan- kawan’, atau dimensi kehidupan mikro: mikroba, bakteri, virus, jamur, sel, dan lain-ain, semuanya bahu membahu memfasilitasi kehidupan manusia dan memberikan kenyamanan kepadanya. Mereka memang sengaja ditundukkan untuk kebutuhan manusia.
“Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki bagimu, dan Dia menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari ni’mat” QS. Ibrahim:32-34
Dan yang paling penting serta terbesar dari pada semua kebaikan Allah di atas adalah: Kenikmatan petunjuk menuju jalan yang diridhoi-Nya melalui diutusnya para nabi serta diturunkannya Al Kitab, firman-Nya.
Kemudian apa balasan manusia terhadap tebaran kenikmatan yang Allah hamparkan tersebut? Apakah mereka bertambah tunduk dan bersyukur? Mestinya demikian. Namun kenyataan berbicara lain. “….. amat sedikit kamu yang bersyukur” (QS.32:9). “……akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.30:30). Kebaikan dan kenikmatan yang turun dari Allah kepada manusia, kejahatan dan kedurhakaan yang naik kepada Allah dari manusia. Sekali lagi, pantas sekali kalau kemudian Allah menyebut mereka sebagai amat zalim, ingkar, kufur nikmat, jahil, durhaka, dlsb. Mereka makhluq yang tidak tahu diri.

Dalam kondisi seperti ini pasti akan datang teguran dari Allah, bisa berupa bencana alam di darat maupun di laut, kelaparan ,wabah penyakit, kezaliman, dll, agar mereka merasakan kesengsaraan dan kemelaratan, kalau-kalau mereka ingin kembali, memohon kepada Allah dengan tunduk dan merendahkan diri.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (Rasul-Rasul) kepada umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon kepada Allah dengan tunduk dan merendahkan diri” QS.Al An’am:42.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan ulah tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali” QS. Ar Rum:41

Maka kembalilah kepada Allah dengan :
1. Mengingat Allah, memohon ampun kepada Nya, menyesali kesalahan .
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” QS. Ali ‘Imran:135.

2. Bertaubat, mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada (agama) Allah, dan tulus ikhlas beribadah karena Nya.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar” QS. An Nisa:146

3. Berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan Khulafaurrasyidin al Mahdiyyin, dan menjauhi semua bid’ah.

“Aku wasiyatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung, dan aku wasiyatkan agar kalian mendengar dan taat, walaupun yang mengamiri kalian adalah seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barang siapa yang hidup sesudahku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin Al Mahdiyyin (para kholifah yang lurus dan diberi petunjuk), gigitlah ia dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, karena semua yang bid’ah itu adalah sesat” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syaik Salim Al Hilali).

4. Menetapi Jama’ah Muslimin dan Imam mereka.
”Adalah orang-orang (para Shahabat) bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan adalah saya bertanya kepada Beliau tentang kejahatan, khawatir kejahatan itu menimpaku. Maka saya bertanya: Ya Rasulullah sesungguhnya kami dahulu berada dalam Jahiliyyah dan kejahatan, maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan ini (Islam). Apakah sesudah kebaikan ini timbul kejahatan? Rasulullah menjawab:Ya. Saya bertanya: Apakah sesudah kejahatan itu datang kebaikan? Rasulullah menjawab:Ya, tetapi di dalamnya ada kekeruhan (dakhon). Saya bertanya: Apa kekeruhan itu? Rasulullah menjawab: Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku –dalam riwayat Muslim: Kaum yang berprilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari- . Aku bertanya: Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan? Rasulullah menjawab: Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu jahannam, barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam jahannam itu. Aku bertanya: Ya Rasulullah tunjukkan sifat-sifat mereka itu kepadaku. Rasulullah menjawab: Mereka itu dari kulit-kulit kita, dan berbicara menurut lidah-lidah kita. Aku bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian? Rasulullah bersabda: Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka. Aku bertanya: Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam? Rasulullah bersabda: Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian”. (HSR.Bukhari, Muslim & Ibnu Majah).

Sekali lagi, maka kembalilah kepada Allah, selagi masih di dunia, sebelum benar-benar dikembalikan kepada-Nya.
Wallahu a’lam bish showab.

Yahudi VS Khilafah

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik…….”.
QS. Al Maidah:82

Yahudi, sejak dahulu hingga sekarang masih tetap sama: Memusuhi islam. Hanya bedanya adalah kalau dulu pada masa Rasulullah dan para shahabat Yahudi tidak mampu berbuat banyak. Makar dan kelicikan mereka tidak sanggup sedikit pun menerobos shaf kaum muslimin. Maka sekarang adalah kebalikannya,
Yahudi betul-betul menjadi momok bagi Islam dan Muslimin. Secara materi mereka “memiliki segalanya”. Mereka menguasai dunia moneter dan perbankan, media massa (cetak dan elektronik dengan oplah terbesar), jaringan informasi dunia, jaringan lobi internasional (antara lain PBB dan AS), kantor berita negara-negara besar, bisnis senjata, berbagai industri kebutuhan rumah tangga (seperti Nestle, Danone), dan lain-lain
Oleh karenanya tidak mengherankan kalau kemudian mereka mampu memegang kendali opini dunia atau sirkulasi dolar internasional. Salah satu contohnya yang sangat jelas adalah, mereka mampu mengalihkan perhatian dan membungkam mulut dunia internasional untuk mendiamkan kekejaman mereka terhadap muslimin Palestina yang terjadi setiap detik saat ini.
Lantas mengapa bisa demikian? Apa yang menyebabkan kekuatan Yahudi sekarang bertambah “hebat”?
Sebenarnya sama sekali tidak ada kekuatan mereka bertambah. Mereka tetap seperti yang dulu apa adanya, dan sampai kapan pun tetap seperti itu. Mereka tetap sekelompok manusia yang dilaknat oleh Allah akibat berbagai prestasi kejahatan yang mereka buat tiada henti. Mereka memiliki karakter jelek yang tiada pernah berubah. Dalam Al Quran secara detail diterangkan, antara lain berikut ini:
1. Pengecut
Mereka berkata:"Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja". (QS. 5:24).
2. Suka maksiyat terhadap pemimpin
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata:"Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku". Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka……”. QS. 2:248)
3. Mereka hanya mentereng dipenampilan, namun sebenarnya seperti “kayu yang tersandar”
“Dan apabila melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar……” (QS. 63:4)
4. Dari luar terlihat bersatu padu, padahal mereka berpecah belah.
“…..Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. 59:14)
5. Mereka hanya berani berperang “dalam kampung yang berbenteng” atau dari balik tembok.
“Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat……”(QS. 59:14).
6. Jika mereka berani bertempur, mereka pasti akan “berbalik ke belakang”
“Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.” (QS. 3:111)
7. Suka berkhianat
“…dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik”. (QS. 5:13)

Adapun bahwa mereka saat ini terlihat sangat “hebat” sebagaimana disebutkan di atas, lantaran lawan mereka sedang lemah. Muslimin, satu-satunya musuh “abadi” mereka, sedang mengalami problem internal yang teramat berat. Dan koreksi yang paling penting terhadap kelemahan muslimin ini adalah bahwa mereka hidup dalam situasi fitnah akibat ditinggalkannya syariat khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah.
Padahal khilafah adalah kekuatan muslimin. Khilafah berarti kembalinya muslimin kepada manhaj perjuangan Rasulullah dan empat shahabat pelanjut kepemimpinan beliau. Seperti yang beliau perintahkan dalam sebuah riwayat: “…Maka dari itu hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin Al mahdiyyin (para kholifah yang mendapat petunjuk yang benar), hendaklah kamu pegang teguh akan dia, dan gigitlah dengan gigi gerahammu…..” HR. Ahmad. Khilafah juga bermakna bersatunya kaum muslimin dalam bingkai ketaatan kepada Allah demi tegaknya kalimat li’ila kalimatullah. Itulah umat terbaik yang memancarkan sinar rahmatal lil ‘alamin dan menggetarkan musuh.
Fakta bahwa muslimin kuat dengan tegaknya khilafah dan sebaliknya yahudi menjadi tak berkutik adalah seperti yang banyak tercatat dalam lembaran tarikh, yang antara lain:
Berbagai peperangan yang terjadi pada masa Rasulullullah (tercatat dalam tarikh kurang lebih sebanyak 27 kali peperangan, ditambah 60 kali pengiriman ekspedisi pasukan), senantiasa dimenangkan oleh kaum muslimin. Seperti perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, perang Tabuk, perang Hunain, Fathul Makkah, dan lain-lain. Padahal secara logika tidak mungkin mereka dapat mengalahkan musuh, karena diatas kertas perhitungan kekuatan mereka jelas jauh di bawah kekuatan musuh. Sebut saja seperti yang terjadi pada perang Mu’tah, kaum muslimin hanya berkekuatan 3000 orang dengan perlengkapan dan perbekalan sederhana, bisa mengalahkan 200.000 pasukan musuh (tentara Rumawi) yang terlatih dengan perlengkapan dan perbekalan standar.
Bagaimana dengan Yahudi pada waktu itu? Ada beberapa insiden, seperti pengusiran Bani Nadhir dan Qainuqa dari Madinah, pengkhianatan Bani Quraidzah pada perang Ahzab, perang Khaibar, adu domba Syasy bin Qeis dan lain-lain. Semua insiden frontal itu dalam sejarah bukanlah peristiwa yang besar, walau terasa teramat menyakitkan. Hal ini karena, pola peperangan mereka –sebagaimana yang diungkap di atas- adalah pola pengkhianatan, penipuan, dan pengecut.
Begitupula yang terjadi pada masa kepemimpinan empat kholifah sesudah Rasulullah, Yahudi benar-benar tidak berkutik. Klimaksnya, pada masa kholifah Umar ibnul Khoththob mereka diusir seluruhnya dari Jazirah Arab lantaran berbagai tindakan buruk yang tiada henti mereka lakukan terhadap islam dan muslimin.
Namun apakah mereka kapok? Tidak sama sekali. Mereka sudah tertutup untuk menerima kebenaran islam. Hati mereka sudah sekeras batu, bahkan lebih keras lagi, yang ada hanyalah kedengkian dan kebencian terhadap islam. Allah mengabadikan dalam Al Quran: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka…….”QS. Al Baqarah:120.
Namun waktu terus berlalu. Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Ternyata perode kekhilafahan di kalangan muslimin harus berakhir. Setelah syahidnya Kholifah terakhir (‘Aly bin Abi Thalib), yang dibunuh oleh pemberontak, Muawiyah bin Abi Sufyan secara resmi mengganti pola kepemimpinan, tidak lagi mengikuti jejak empat kholifah sebelumnya, akan tetapi mengangkat dirinya sebagai Raja, Raja pertama dalam sejarah islam, yang kemudian diikuti oleh pelanjutnya silih berganti.
Sebuah analisa sejarah yang cukup bagus tentang masalah ini adalah, sebenarnya penyebab utama bergantinya pola kepemimpinan dari Khilafah ke Mulkan (kerajaan) yang diawali oleh berbagai kemelut internal, bukan karena serangan konspirasi eksternal (Yahudi, dengan figure sentralnya: Abdulah bin Saba), namun akibat “penyakit hati” yang mulai merasuk pada sebagian muslimin. Rasulullah menyebutnya dengan: al wahn, (cinta dunia dan takut mati). Selain itu, terjadi pula berbagai perilaku tidak thoat terhadap kholifah sehingga bintik-bintik ikhtilaf dan tafarruq mulai terlihat. Allah menjelaskan dalam al quran, kalau demikian halnya kondisi muslimin maka yang akan terjadi berikutnya adalah: menjadi gentar dan hilang kekuatan.
“Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. 8:46).
Bagi Yahudi ini adalah kesempatan emas. Beralihnya dari Khilafah ke Mulkan berarti terbuka peluang untuk mengobok-obok muslimin. Kemudian mereka benar-benar memanfaatkan momentum tersebut untuk membuat berbagai makar jahat demi kehancuran islam dan muslimin. Waktu-waktu selanjutnya adalah terjadinya rentetan fitnah di kalangan muslimin. Timbulnya firqah-firqah (Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dll), perpecahan umat, bid’ah, khurafat, syirik, dan lain sebagainya. Hingga tumbangnya symbol kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924 adalah bagian terpenting dari kerja keras mereka.
Lantas bagaimana nasib muslimin setelah itu? Jangan ditanya lagi. Muslimin benar-benar menjadi bulan-bulanan dan objek kebiadaban mereka. Pembantaian berkedok keadilan atau keamanan, perampasan hak, pembodohan, pelecehan, dan lain sebagainya dengan sangat sistematis mereka lakukan terhadap islam dan muslimin hingga saat ini.
Akhirnya dalam posisi seperti ini, sebenarnya muslimin tidak ada pilihan lain, kecuali: kembali kepada Allah dan Rasul Nya dengan menegakkan Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah, mulai dari sekarang. Semoga Allah memudahkan. Wallahu a’lam bishshowwab. iR




Nasehat Buat Sang Penguasa

Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al Azdi adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Balkhan dan hidup pada masa kurun abad ke-9. Pada suatu kesempatan ia dipanggil oleh penguasa islam Bani Abbasiyah di Baghdad. Sang penguasa bernama Harun Al Rasyid (berkuasa dari 786-809 M).
Selanjutnya Harun meminta nasehat kepada Syaqiq. Syaqiq pun berkata memulai nasehatnya: “Allah Yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu Bakar yang setia, dan Dia menghendaki kesetiaan yang sama darimu. Allah telah memberimu kedudkan Umar yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan. Dia menghendaki engkau dapat pula membedakan kebenaran dan kepalsuan. Allah telah memberimu kedudukan Utsman yang memperoleh cahaya kesederhanaan dan kemuliaan. Dia menghendaki agar engkau juga bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kepadamu kedudukan ‘Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksaan dan sikap adil. Dia menghendaki agar engkau bersikap adil dan bijaksana pula”.
“Lanjutkan !” pinta Harun. Syaqiq melanjutkan: “Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka, Dia telah mengangkatmu menjadi penjaga pintu neraka dan mempersenjatai dirimu dengan tiga hal: Kekayaan, pedang dan cemeti. Dengan kekayaan, pedang dan cemeti ini usirlah umat manusia dari neraka. Jika ada orang yang dating mengharap pertolonganmu, janganlah engkau bersikap kikir. Jika ada orang yang menentang perintah Allah, perbaikailah dirinya dengan cemeti. Jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini. Jika engkau tidak melaksanakan perintah Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang masuk ke neraka itu”
“Tambah lagi” desak Harun. Syaqiq meneruskan: “Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya dia tidak akan tercemar karena kekeruhan anak-anak sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, bagaimana mungkin anak-anak sungai tersebut akan bening?”
“Lanjutkan!” seru Harun lagi. Syaqiq melanjutkan kembali nasehatnya: “Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?”
“Berapa pun yang diminta” jawab Harun. “Seandaniya ia baru mau menjual itu dengan setengah kerajaanmu?”
“Aku akan menerima tawaran itu” jawab Harun. “Kemudian andaikan pula air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari dalam tubuhmu sehingga engkau terancam binasa, setelah itu dating pula seseorang menawarkan bantuannya kepadamu: Akan kusembuhkan engkau tetapi serahkan setengah dari kerajaanmu kepadaku, apa jawabmu?”. Harun lantas menjawab: “Akan kuterima tawaran itu”.
Kemudian Syaqiq mengakhiri nasehatnya: “Oleh karena itu, mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan lagi?”
Harun menangis kemudian melepas kepergian Syaqiq dengan penuh kehormatan.
Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari nasehat Syaqiq di atas. Karena tema yang ia sampaikan adalah tema yang universal. Setiap manusia yang diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin pada hakikatnya dihadapkan pada permasalahan yang tidak berbeda, dari dulu hingga sekarang. Mereka senantiasa bergelut dengan tanggung jawab, keadilan, keangkuhan sosial, perlindungan terhadap umat, dan keteladanan. Terlebih lagi bagi seorang mu’min, tampuk kepemimpinan adalah amanah. Ia sama sekali tidak pantas untuk dikejar dengan penuh ambisi apa lagi kalau sampai jadi bahan rebutan. Kelak di akhirat justru kepemimpinan menjadi penyesalan, lantaran beratnya pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Jadi bagi setiap pemimpin, nasehat Syaqiq adalah sangat berarti, agar yang tergambar adalah amanah dan tanggung jawab bukan kekuasaan, ketinggian dan kehormatan.

My Face


Hikmah Dari Sebuah Insiden Perselisihan

Mulanya perasaan hasad (dengki) yang muncul dari seorang tokoh Yahudi di Madinah, lantaran melihat keakraban yang terjalin antara suku ‘Aus dengan suku Khazraj. Padahal dulu mereka saling bermusuh-musuhan. Bahkan saling bunuh dalam berbagai peristiwa peperangan. Namun ternyata setelah mereka mengikuti Muhammad, semua berubah. Mereka justru saling cinta dan kasih sayang.
Sang tokoh tadi –namanya Syasy bin Qeis- mengutus orang suruhan untuk menyusup diantara suku ‘Aus dan Khazraj, untuk mengingatkan pada luka lama yang sudah terkubur. Hampir berhasil. Hampir saja terulang permusuhan mereka dahulu. Mereka sudah adu mulut, saling lempar-lemparan sandal dan bahkan sudah akan mencabut pedang masing-masing.
Namun syukurnya Rasulullah saw segera tiba di tengah-tengah mereka dan bersabda: “Apakah dengan slogan-slogan dan isu-isu jahiliyyah (kalian akan bermusuhan kembali) sedang aku masih berada di tengah kamu?”, setelah bersabda demikian Beliau lantas membacakan beberapa ayat yang Allah turunkan pada saat itu.
“Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (dien) Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah belah, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS.3:103)
Ternyata kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya terlalu kental untuk dikikis noda-noda fanatisme kesukuan, begitu mendengar sabda Rasulullah dan ayat yang dibacakan Beliau, mereka menyatakan menyesal dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakkan senjata masing-masing.
Insiden tersebut hanya sebuah ‘paragraf’ kecil dari catatan panjang sejarah Rasulullah beserta para shahabat. Namun justru merupakan miniatur ideal kehidupan muslimin, yang tetap relevan untuk diambil hikmahnya hingga muslimin masa sekarang. Ini bisa dihayati paling tidak dari : Betapa agama islam mampu melumerkan segala dendam kesumat kesukuan, atau betapa kebencian serta kedengkian Yahudi terhadap umat islam yang tak pernah berakhir dan ini didukung dengan kelihaian mereka dalam menyusup, menfitnah, mengadu domba, serta segala bentuk trik-trik provokator (QS.2:120 dan 5:82). Kemudian, betapa isu yang paling sensitif untuk memprovokasi ukhuwwah adalah isu ashobiyah/kesukuan. Atau betapa cepat tanggapnya Rasulullah -sebagai pemimpin umat tertinggi- dalam menyelesaikan insiden tersebut, sehingga darah tidak sempat bersimbah, yang sekaligus pula mengindikasikan betapa perlu dan harus adanya pemimpin umat. Terakhir, betapa ayat tersebut dengan segala realisasi keimanan kepadanya menjadi terapi mujarab terhadap bentuk-bentuk tafarruq (perpecahan), baik yang berupa sekedar perselisihan individual hingga perang suku atau kabilah.
Karenanya seyogyanya ayat ini senantiasa relevan untuk dikumandangkan. Mengingat kejadian yang serupa insiden suku Aus - Khazraj sebagaimana di atas sudah terlalu banyak terjadi. Disamping itu masih banyak fakta-fakta sejarah lainnya yang hanya menjadi noda hitam perjalanan muslimin, dan ini terlalu pahit untuk diungkit.
Apa sebenarnya pesan yang Allah sampaikan dalam ayat tersebut sehingga benar-benar menjadi terapi? Yakni: Berpegang teguh pada agama Allah, kembali kepada persatuan muslimin, hindarkan segala bentuk perselisihan dan perpecahan, ingatlah akan ni’mat Allah, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Semuanya itu ibroh dari Allah: bertikainya Aus dan Khazraj, hasadnya Yahudi, Cepat tanggapnya Rasulullah, turunnya Ayat Allah, kembali lembutnya hati orang-orang Aus dan Khazraj, serta hikmah lainnya. Akan tetapi yang mampu mengambilnya sebagai i’tibar/pelajaran adalah mereka yang punya “pandangan” serta “pikiran” (QS.59:2). Itulah yang akan mendapat petunjuk, dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka berikut ketakwaan dari-Nya (QS.47:17). Wallahu a’lam bishowwab.