Selamat berkunjung ke blog helwanpunya..............

Alhamdulillah, adalah suatu kehormatan anda bersedia berkunjung ke blog ini. terus terang saja, blog ini diharapkan untuk menghimpun para blogger yang mungkin perlu informasi banyak tentang mesjid Al Aqsho dan kebiadaban Yahudi Zionis. Insya Allah kami selama berusaha untuk senantiasa tidak ketinggalan terhadap perkembangan mengenai mesjid Al Aqsho tersebut. Nah...teman-teman inilah blog helwanpunya, atau untuk jalin komunikasi bisa hubungi email saya : helwan1428@yahoo.co.id

Alhamdulillah, dapat juga kita bikin kayak gini. Bagi saya ini adalah hal yang baru, namun berkat ada teman yang kasih info, n bakar semangat, kemudian sedikit bimbingan, trus jadi blog sederhana ini. Rencana saya, ini mudah-mudahan bisa dijadikan media silaturahim, trus tukar pikiran, adu pendapat, sharing info, sarana dakwah dunia maya dan yang terpenting untuk tasyakur kepada Allah Subhanahu Wata'ala.Teman-teman sesama blogger, saya sekarang lagi intens terhadap masalah mesjid Al Aqsho.Bagi kaum muslimin sedunia, mesjid ini adalah situs yang sangat sarat makna-makna historis keislaman dan mengandung keuniversalitasan islam. namun sayangnya, saat ini mesjid Al Aqsho dalam genggaman kolonialisme Yahudi Zionis Israel. So...para blogger, terutama yang peduli betapa beharganya nilai sejarah dan mulianya darah manusia, yuuk kita bantu perjuangan pembebasan mesjid Al Aqsho dan kemerdekaan rakyat Palestina. Kita punya pikiran, kedua tangan, kedua kaki, sedikit harta, dan yang terpenting hati tulus yang senantiasa mendoakan.

Rabu, 09 April 2008

“Politik Islam”, Darimana Asalmu

“…….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu….”(QS. 5:3)

Carut marut perpolitikan di Indonesia tegangannya tak pernah menurun. Senantiasa hangat. Dan, yang membuat lebih hangat lagi adalah bahwa banyak kekuatan yang ambil bagian dalam kancah ini. Sebut saja, “kekuatan islam”, kekuatan sekuler, dan nasionalis. “Kekuatan islam” pun terbagi pula, ada yang (menurut mereka) fundamentalis, dan ada pula yang moderat. Yang jelas beragam & penuh warna.
Oke baiklah, kami sama sekali tidak akan menjadi pengamat politik dadakan. Kami hanya tertarik terhadap klaim dari banyak pihak yang mengatakan, bahwa mereka adalah partai islam, pejuang politik islam, demokrasi islami, pemimpin (presiden) yang islami, dan bahkan negara islam. Intinya mereka sangat menginginkan islamisasi pada setiap symbol politik, tanpa peduli apakah politik itu islami atau bukan.
Mestinya mereka yang sudah terlanjur beranggapan seperti itu betul-betul memahami dengan penuh keyakinan, bahwa islam punya prinsip keutuhan. Utuh dalam arti:

1. Kita meyakini dan menyikapinya sebagai agama yang telah kamil (sempurna) tanpa ada cacat & cela. Segala aturan yang diperlukan demi kemaslahatan seluruh umat manusia dalam semua aspek hidupnya, telah tecantum didalamnya, tiada yang tertinggal. Dari hal-hal yang terlihat sepele, misalnya tentang bagaimana tata cara masuk dan keluar WC, hingga pada masalah yang paling prinsip dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali (contohnya antara lain: kewajiban memiliki Imamul Muslimin, larangan berpecah belah, ketentuan jihad fi sabilillah, dan berbagai macam ibadah mahdhoh). Dalam hal ini Allah berfirman, yang artinya:
“…….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu….”(QS. 5:3)
“….Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan”. (QS. 6:38)
“…Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. 16:89)
Oleh karenanya, sampai kapan pun tidak perlu ada penambahan, pengurangan, dan penggantian ajaran islam, apalagi sampai rekonstruksi ulang. Apapun alasannya. Kalau ada yang berfikir perlu peremajaan kembali atau penyesuaian beberapa unsur dalam ajaran islam lantaran ada beberapa hal yang dianggap sudah tidak sesuai dengan jaman, maka mereka sama saja dengan meragukan kesempurnaan islam, yang pada gilirannya berarti menggugat ke-Maha Benar-an Allah,- Naudzubillahi mindzalik - sebab Dia lah yang telah melegitimasi kesempurnaan agama tersebut dengan firman Nya sebagaimana ayat di atas.
Lantas bagaimana sebenarnya Allah memposisikan kita, para penganut islam ini? Jawabannya, tak lebih dari pengamal dan penyampai. Tepatnya mengamalkan apa yang telah Allah gariskan melalui petunjuk Rasul Nya, kemudian menyampaikan seruan, yakni: amar ma’ruf wa nahi munkar (memerintahkan kepada yang baik dan melarang perbuatan jahat).
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka):"Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu,serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa". (QS. 7:171)

“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. 36:17)
Lebih dari itu semua, ternyata selain ia telah lengkap, pun petunjuk hidup yang ditawarkan oleh islam adalah solusi terbaik dari setiap permasalahan kehidupan yang terjadi. Kita tidak akan menemukan petunjuk lain yang sebaik islam. Karena islam adalah agama fithrah manusia sementara selainnya menyelisihi fithrah. Islam, kitab sucinya dipelihara oleh Allah, sementara selainnya penuh dengan kontaminasi kebatilan. Kesimpulannya, perbandingan islam dengan petunjuk hidup yang lain, adalah sebagaimana perbandingan haq dengan batil.
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”. (QS. 10:32).

2. Nah, kalau agama yang diturunkan oleh Allah ini telah sempurna, lengkap, up to date, dan terbaik, adakah alasan untuk menolaknya? Atau menerimanya sebagian-sebagian?. Orang yang memiliki akal fikiran (kemudian dipergunakan sebaik-baiknya) tentu saja ia akan: Utuh menerima. Inilah prinsip keutuhan yang kedua: Utuh menerima dan mengamalkan islam. Dalam bahasa agama, masuk ke dalam islam secara kaaffah (keseluruhan).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. 2:208).
Islam ibarat mata rantai yang saling terikat antara satu sama lain. Ia menyatu dan tidak mungkin dipisah-pisahkan. Menolak salah satu ajarannya sama dengan menolak seluruhnya. Mengimani sebagian namun disaat yang sama mengkufuri sebagian yang lain berarti benar-benar menjadi kufur. Keluar sekedar sejengkal dari Al jama’ah (sebutan untuk kelompok al haq dari kaum muslimin) maka akan terlepas ikatan islam dari lehernya. Begitupula keimanan yang situasional, berada di dalam islam hanya di “pinggir-pinggir”, bila ada yang menyenangkan hatinya ia tetap “beriman”, namun jika ada ujian secepat kilat ia keluar dari barisan keimanan. Seperti itulah cara orang-orang munafiq mengimani dan menyembah Allah.
Berikut ini beberapa ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang keimanan tidak utuh sebagaimana yang disebutkan di atas:
“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. 4:150-151)
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (QS. 22:11)
“Maka barang siapa yang keluar dari Al jama’ah walau kadar sejengkal maka terlepas ikatan islam dari lehernya, hingga ia kembali”. (HR. Ahmad).
Masih dalam konteks ini, tidak berbeda halnya dengan amal-amal islami, yang antara lain seperti sholat, zakat, shoum, hajj, dan lain sebagainya. Semuanya dituntut untuk dilaksanakan dengan sempurna. Contoh salah satunya adalah sholat yang harus mencakup: kekhusyuan, kaifiyatnya sesuai dengan contoh Rasulullah, niat yang ikhlas, dan tepat waktu. Sebaliknya jika ia dilaksanakan dengan tidak utuh (riya, tidak khusyu, dan lalai waktu) maka nilainya menjadi cacat, seperti sholatnya orang-orang munafik yang boro-boro diganjar pahala, justru neraka wail balasannya. Naudzubillahi mindzalik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. 4:142)
“Maka kecelakaanlah (neraka Wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. (QS. 107:4-5).

3. Utuh menjadikan Allah ‘Azza Wa Jalla sebagai satu-satunya Ilah dan Robb, dengan segala konsekuensinya. Sebagaimana yang terangkum dalam kalimat tauhidullah: La ilaaha illallah (tiada ilah melainkan Allah).
Inilah sebenarnya inti dari benar tidaknya agama seorang hamba. Ini pulalah yang menjiwai aplikasi setiap ajaran agama. Ia ibarat akar dari seluruh cabang-cabang syariat. Apabila kalimat tersebut kokoh bersemayam di dalam dada seorang muslim insya Allah menjadi jaminan baginya bahwa ia telah shodiq beragama. Sebaliknya, jika rapuh, pasti agamanya goyah bahkan roboh. Terdapat beberapa ayat Al quran yang berkenaan dengan masalah ini, yakni QS. Ibrahim ayat 24-27, menurut Tafsir Jalalain, yang dimaksud kalimat “Thoyyibah” pada ayat tersebut adalah : Laa ilaaha illallah.
“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dala kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (QS. 14:24-27)

Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik.Bertasbih Kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 59:23-24)

Utuh menjadikan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai satu-satunya Zat yang disembah adalah ketika kita mengimani seluruh asma dan sifatNya. Iman di sini dalam arti yang sebenarnya dengan segala tuntutannya. Keyakinan dan penghayatan terhadap semua keagungan Al Asmaul Husna terajut dengan indah dalam tataran aqidah kita tanpa ada penolakan walau sebesar zarrah sekalipun. Kita meyakini bahwa Ia adalah Ar Razzaq (Maha pemberi Rezeki), artinya seluruh rezeki yang dinikmati setiap makhluq pasti berasal dari Nya. Begipula, Ia adalah Al ‘Aly (Yang Maha Tinggi), Al Muhyi wal Mumit (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan), Al Khaliq (Yang Maha Pencipta), Al Hay (Yang Maha Hidup), Al Haq (Yang Maha Pasti/Benar), Al Muhaimin (Yang Maha Memelihara) dan seterusnya.
Sebaliknya, ketidak utuhan keimanan terhadap salah satu Asma dan Sifat tersebut adalah bentuk penyekutuan (syirik) kepada Nya. Sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al Quran, beberapa orang hamba Nya menolak ke-Maha-an Nya. Fir’aun mengklaim bahwa dirinyalah Tuhan yang paling Tinggi (QS. 79:24), ini sama saja dengan menolak asma Allah Al ‘Aly. Qorun, mengatakan bahwa tidaklah harta datang kepadanya melainkan karena kepandaianya (QS. 28:78), ini sama dengan menolak asma Allah Ar Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Raja Namrudz mengatakan kepada nabi Ibrahim, bahwa ia dapat menghidupkan dan mematikan (QS. 2: 258), ini berarti menolak asma Allah Al Muhyi wal Mumit. Begitupula, prilaku orang-orang musyrik yang memecah belah agama menjadi bergolong-golongan dan saling membanggakan golongan mereka (QS. 30:31-32), ini tidak berbeda dengan mereka yang menolak asma Allah Al Muhaimin (Maha Pengatur). Orang-orang yang Allah sebut sebagai kafir, zalim dan fasik karena mereka tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah (QS. 5:44,45 & 47), mereka pada hakikatnya tidak mengimani asma Allah Al Hakim (Yang Maha Memutuskan). Masih dalam konteks ini, beberapa riwayat menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras orang-orang yang meratapi mayat, sampai menangis meraung-raung, memukul-mukul wajah, dan merobek-robek pakaian. Penegasan dari Beliau ini sangat penting, karena semua perilaku tersebut menunjukkan ketidak imanan kepada Allah, bahwa Ia Maha berKehendak (Al Qadir).
Masih banyak ayat-ayat Al Quran, hadits Rasulullah, maupun tarikh yang berkaitan dengan masalah ini. Intinya, keutuhan keimanan kepada Allah dengan seluruh Asma dan Sifat Nya adalah mutlak bagi eksistensi aqidah seorang hamba. Sekali lagi ini mutlak utuh.
Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai'Arsy
yang besar". (QS. 27:26)
***

Begitulah 3 prinsip keutuhan yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, demi mempertahankan kemurnian agama mereka.
Lantas apa sebenarnya relevansi semua ini dengan “politik islam” sebagaimana judul tulisan yang tercantum di atas ?
Relevansinya adalah, bahwa ternyata landasan pemikiran “politik islam” tidak mengakar pada prinsip keutuhan ini. Bahkan ia sebenarnya telah lahir dan tumbuh subur dari pemahaman yang setengah-setengah atau sepotong-potong. Sebagai contoh, mereka memandang dalam literatur islam diketemukan ada semacam konsep yang memuat mekanisme pemerintahan, kekuasaan, dan perundang-undangan maka ini adalah substansi politik yang menjadi dasar penegakan pengembangan system politik dalam islam. Contoh lainnya, mereka juga menemukan ada substansi demokrasi. Maksudnya ada sesuatu yang mirip dengan proses demokrasi, seperti ada kebebasan mengeluarkan pendapat, serta adanya proses peradilan bagi sang pemimpin tertinggi, maka serta merta mereka mengklaim demokrasi adalah islam atau demokrasi islami. Ketika mereka melihat dalam lintasan sejarah islam, pada masa Rasulullah, diketemukan adanya seorang pemimpin (yakni Rasulullah, dilanjutkan para kholifah), kemudian ada rakyat (umat islam) yang dipimpin, serta ada territorial Madinah, ada perjanjian kaum muslimin dan pihak Yahudi, maka spontanitas mereka mengatakan ini adalah konsep negara, lantas kemudian popular istilah Negara/Daulah Islam Madinah. Berikutnya, tatkala mereka menemukan bahwa ternyata para kholifah pengganti kepemimpinan Rasulullah, adalah orang-orang suci (al muqaddas) yang “memerintah” atas nama Allah, maka serta merta mereka memutuskan bahwa model “pemerintahan islam” adalah Teokrasi. Begitupula halnya, ketika mereka melihat ada “partai” Anshor dan ada “partai” Muhajirin pada masa Rasulullah, maka dapat ditebak, mereka pun mengklaim system partai ada sunnah dari para shahabat. Atau masih dalam konteks ini, banyak pula yang dengan penuh keyakinan memahami bahwa islam adalah agama yang telah sempurna dan universal oleh karenanya sebagai wujud dari kesempurnaannya ia pun harus memuat sendi-sendi politik, karena politik saat ini adalah tuntutan jaman. Perjuangan li I’la kalimatillah tidak mungkin dilakukan melainkan harus ditunjang dengan system politik. Sebagai implementasinya, maka direkomendasikanlah kalimat penegasan oleh para intelektual muslim: La budda illa bi hizbin (tidak boleh tidak melainkan dengan partai). Dan “partai Islam” pun lahir. Ada lagi yang lain. Yakni mereka yang selembe mengatakan bahwa politik hanyalah suatu cara atau metode belaka. Ia sangat tergantung kepada siapa yang memerankan. Apabila orang yang berperan baik, tujuannya pun baik maka politik akan menjadi baik. Begitupula sebaliknya.
Berbagai argumentasi di atas baru sekelumit, masih banyak alasan-alasan lain yang akan terus kita dengar dari mereka yang terlanjur menjadikan system politik (dengan segala bentuknya) sebagai manhaj perjuangan penegakan islam. Dan pemahaman seperti tersebut di atas sudah sangat meluas. Bahkan tidak berlebihan kalau kami katakan mayoritas dari kaum muslimin berpendapat demikian.
Namun tentu saja kita tidak boleh gegabah dalam hal ini. Bukan berarti banyaknya alasan dari mayoritas muslimin tersebut mengharuskan kita untuk membenarkan mereka, karena kebenaran mutlak milik Allah. Kebenaran absolute berdasarkan pada standar yang telah Allah tetapkan. Kebenaran sama sekali tidak berkaitan dengan banyak atau sedikit orang yang berpihak kepadanya. Bahkan biasanya kebenaran Ilahi menunjukkan jumlah yang sedikit, sebaliknya hati-hati dengan banyaknya jumlah, biasanya justru batil dan menyesatkan, seperti yang disebutkan pada ayat-ayat berikut ini:
“Alif laam miim raa.Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab (al-Qur'an).Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya)”. (QS. 13:1)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya……” (QS. 6:116)
“Dan mereka berkata:"Hati kami tertutup". Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman”. (QS. 2:88)
Semestinya terhadap pelbagai alasan yang dikemukakan di atas dijawab satu-persatu, namun selain karena keterbatasan ruang pada kolom ini, kami juga melihat sebenarnya ada benang merah yang menghubungkan seluruh alasan-alasan di atas. Yakni ternyata semuanya alasan tersebut tidak ditegakkan melainkan atas dasar persangkaan belaka. Mereka hanya mengira-ngira, dan memungut sinyal-sinyal samar yang dirasakan tepat menjustifikasikan keberadaan politik islam. Padahal ini jelas keliru. Selamanya persangkaan tidak punya kapasitas untuk menentukan kebenaran.
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. 10:36)
Pada kenyataannya, tidak ada dasar yang jelas dan tegas yang dapat dinukil dari dalam Al Quran dan As Sunnah untuk dijadikan hujjah dalam masalah ini. Yang ada, malah sebaliknya, berbagai hujjah yang memberikan petunjuk kepada kita untuk kembali kepada Allah dan Rasul Nya, tinggalkan tata cara perjuangan politik dalam islam.

1. Setiap konsep Politik dimasa kapan pun harus dikaitkan dengan sejarah pencetusannya pertama kali, yakni oleh pemikir-pemikir Yunani (Plato dan Aristoteles), yang masanya jauh sebelum islam. Bagi muslimin, jelas sangat tidak layak untuk mengadopsi konsep Plato cs untuk dijadikan manhaj perjuangan.

2. Kata politik, jika dianalogikan ke dalam bahasa Arab, adalah berasal dari kata Assiyasah (Assiyasah Asysyar’iyyah / politik keagamaan, dicetuskan oleh Ibnu Taymiyah). Menurut Quraisy Shihab, kata Assiyasah berasal dari akar kata sasa-yasusu (berarti: mengemudi, mengendalikan). Ternyata dalam al quran tidak diketemukan kata yang terbentuk dari akar kata tersebut.

3. Kata Dawlah (berarti Negara), Dustur dan Qanun (perundang-undangan), yang merupakan wujud nyata system politik, ternyata tidak dapat diketemukan kalimatnya dalam Al Quran, as sunnah, bahkan dalam bahasa Arab klasik sekalipun.

4. Dimulainya system politik dalam lintasan sejarah kaum muslimin berarti dimulainya masa yang penuh dengan gumpalan fitnah. Berbagai tindak kezaliman (pembunuhan sesama muslimin, penyelewengan syari’at, ashobiyah, dll) terjadi tiada henti. Sistem politik yang dimaksud di sini adalah, dengan berdirinya kekuasaan Bani Umayyah, tahun 41 H/ 662 M dan dilanjutkan dinasti-dinasti berikutnya. Adapun masa dari Rasulullah, Abu Bakar hingga Aly bin Abi Thalib adalah masa kepemimpinan yang berpijak pada wahyu Allah (masa An Nubuwwah dan Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah).

5. Kehidupan muslimin semakin tenggelam dalam lautan fitnah semenjak runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani (juga kekuasaan politik) tahun 1924. Krisis multi dimensi melanda seluruh pelosok kaum muslimin. Pola perjuangan politik semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Timbulnya nasionalisme, berbagai partai, negara-negara islam, kerajaan-kerajaan islam, dan kelompok-kelompok lainnya. Inilah masa tafarruq.

6. Bersihnya pola perjuangan islam dari politik bukan berarti islam tidak memiliki system kepemimpinan dan kemasyarakatan yang dapat mengakomodir seluruh kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, inilah system terbaik yang pernah ada di muka bumi. Yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, menjadi kekuatan bagi mereka, melindungi mereka dari seluruh fitnah dunia,menjadi syarat kesempurnaan ibadah, dan akhirnya mampu mengantarkan mereka pada keridhoan Alla dunia dan akhirat. Pola yang dimaksud adalah : “Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah” (kepemimpinan yang berada di atas jejak kenabian), dengan hanya satu pemimpin (Kholifah) untuk seluruh dunia dan satu wadah jama’ah, yakni Jama’ah Muslimin (berdasarkan hadits Rasulullah, HR. Ahmad, Bukhar dan Muslim).
Wallahu a’lam bish showwab. iR

Tidak ada komentar: