Mulanya perasaan hasad (dengki) yang muncul dari seorang tokoh Yahudi di Madinah, lantaran melihat keakraban yang terjalin antara suku ‘Aus dengan suku Khazraj. Padahal dulu mereka saling bermusuh-musuhan. Bahkan saling bunuh dalam berbagai peristiwa peperangan. Namun ternyata setelah mereka mengikuti Muhammad, semua berubah. Mereka justru saling cinta dan kasih sayang.
Sang tokoh tadi –namanya Syasy bin Qeis- mengutus orang suruhan untuk menyusup diantara suku ‘Aus dan Khazraj, untuk mengingatkan pada luka lama yang sudah terkubur. Hampir berhasil. Hampir saja terulang permusuhan mereka dahulu. Mereka sudah adu mulut, saling lempar-lemparan sandal dan bahkan sudah akan mencabut pedang masing-masing.
Namun syukurnya Rasulullah saw segera tiba di tengah-tengah mereka dan bersabda: “Apakah dengan slogan-slogan dan isu-isu jahiliyyah (kalian akan bermusuhan kembali) sedang aku masih berada di tengah kamu?”, setelah bersabda demikian Beliau lantas membacakan beberapa ayat yang Allah turunkan pada saat itu.
“Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (dien) Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah belah, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS.3:103)
Ternyata kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya terlalu kental untuk dikikis noda-noda fanatisme kesukuan, begitu mendengar sabda Rasulullah dan ayat yang dibacakan Beliau, mereka menyatakan menyesal dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakkan senjata masing-masing.
Insiden tersebut hanya sebuah ‘paragraf’ kecil dari catatan panjang sejarah Rasulullah beserta para shahabat. Namun justru merupakan miniatur ideal kehidupan muslimin, yang tetap relevan untuk diambil hikmahnya hingga muslimin masa sekarang. Ini bisa dihayati paling tidak dari : Betapa agama islam mampu melumerkan segala dendam kesumat kesukuan, atau betapa kebencian serta kedengkian Yahudi terhadap umat islam yang tak pernah berakhir dan ini didukung dengan kelihaian mereka dalam menyusup, menfitnah, mengadu domba, serta segala bentuk trik-trik provokator (QS.2:120 dan 5:82). Kemudian, betapa isu yang paling sensitif untuk memprovokasi ukhuwwah adalah isu ashobiyah/kesukuan. Atau betapa cepat tanggapnya Rasulullah -sebagai pemimpin umat tertinggi- dalam menyelesaikan insiden tersebut, sehingga darah tidak sempat bersimbah, yang sekaligus pula mengindikasikan betapa perlu dan harus adanya pemimpin umat. Terakhir, betapa ayat tersebut dengan segala realisasi keimanan kepadanya menjadi terapi mujarab terhadap bentuk-bentuk tafarruq (perpecahan), baik yang berupa sekedar perselisihan individual hingga perang suku atau kabilah.
Karenanya seyogyanya ayat ini senantiasa relevan untuk dikumandangkan. Mengingat kejadian yang serupa insiden suku Aus - Khazraj sebagaimana di atas sudah terlalu banyak terjadi. Disamping itu masih banyak fakta-fakta sejarah lainnya yang hanya menjadi noda hitam perjalanan muslimin, dan ini terlalu pahit untuk diungkit.
Apa sebenarnya pesan yang Allah sampaikan dalam ayat tersebut sehingga benar-benar menjadi terapi? Yakni: Berpegang teguh pada agama Allah, kembali kepada persatuan muslimin, hindarkan segala bentuk perselisihan dan perpecahan, ingatlah akan ni’mat Allah, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Semuanya itu ibroh dari Allah: bertikainya Aus dan Khazraj, hasadnya Yahudi, Cepat tanggapnya Rasulullah, turunnya Ayat Allah, kembali lembutnya hati orang-orang Aus dan Khazraj, serta hikmah lainnya. Akan tetapi yang mampu mengambilnya sebagai i’tibar/pelajaran adalah mereka yang punya “pandangan” serta “pikiran” (QS.59:2). Itulah yang akan mendapat petunjuk, dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka berikut ketakwaan dari-Nya (QS.47:17). Wallahu a’lam bishowwab.
Sang tokoh tadi –namanya Syasy bin Qeis- mengutus orang suruhan untuk menyusup diantara suku ‘Aus dan Khazraj, untuk mengingatkan pada luka lama yang sudah terkubur. Hampir berhasil. Hampir saja terulang permusuhan mereka dahulu. Mereka sudah adu mulut, saling lempar-lemparan sandal dan bahkan sudah akan mencabut pedang masing-masing.
Namun syukurnya Rasulullah saw segera tiba di tengah-tengah mereka dan bersabda: “Apakah dengan slogan-slogan dan isu-isu jahiliyyah (kalian akan bermusuhan kembali) sedang aku masih berada di tengah kamu?”, setelah bersabda demikian Beliau lantas membacakan beberapa ayat yang Allah turunkan pada saat itu.
“Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (dien) Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah belah, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS.3:103)
Ternyata kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya terlalu kental untuk dikikis noda-noda fanatisme kesukuan, begitu mendengar sabda Rasulullah dan ayat yang dibacakan Beliau, mereka menyatakan menyesal dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakkan senjata masing-masing.
Insiden tersebut hanya sebuah ‘paragraf’ kecil dari catatan panjang sejarah Rasulullah beserta para shahabat. Namun justru merupakan miniatur ideal kehidupan muslimin, yang tetap relevan untuk diambil hikmahnya hingga muslimin masa sekarang. Ini bisa dihayati paling tidak dari : Betapa agama islam mampu melumerkan segala dendam kesumat kesukuan, atau betapa kebencian serta kedengkian Yahudi terhadap umat islam yang tak pernah berakhir dan ini didukung dengan kelihaian mereka dalam menyusup, menfitnah, mengadu domba, serta segala bentuk trik-trik provokator (QS.2:120 dan 5:82). Kemudian, betapa isu yang paling sensitif untuk memprovokasi ukhuwwah adalah isu ashobiyah/kesukuan. Atau betapa cepat tanggapnya Rasulullah -sebagai pemimpin umat tertinggi- dalam menyelesaikan insiden tersebut, sehingga darah tidak sempat bersimbah, yang sekaligus pula mengindikasikan betapa perlu dan harus adanya pemimpin umat. Terakhir, betapa ayat tersebut dengan segala realisasi keimanan kepadanya menjadi terapi mujarab terhadap bentuk-bentuk tafarruq (perpecahan), baik yang berupa sekedar perselisihan individual hingga perang suku atau kabilah.
Karenanya seyogyanya ayat ini senantiasa relevan untuk dikumandangkan. Mengingat kejadian yang serupa insiden suku Aus - Khazraj sebagaimana di atas sudah terlalu banyak terjadi. Disamping itu masih banyak fakta-fakta sejarah lainnya yang hanya menjadi noda hitam perjalanan muslimin, dan ini terlalu pahit untuk diungkit.
Apa sebenarnya pesan yang Allah sampaikan dalam ayat tersebut sehingga benar-benar menjadi terapi? Yakni: Berpegang teguh pada agama Allah, kembali kepada persatuan muslimin, hindarkan segala bentuk perselisihan dan perpecahan, ingatlah akan ni’mat Allah, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Semuanya itu ibroh dari Allah: bertikainya Aus dan Khazraj, hasadnya Yahudi, Cepat tanggapnya Rasulullah, turunnya Ayat Allah, kembali lembutnya hati orang-orang Aus dan Khazraj, serta hikmah lainnya. Akan tetapi yang mampu mengambilnya sebagai i’tibar/pelajaran adalah mereka yang punya “pandangan” serta “pikiran” (QS.59:2). Itulah yang akan mendapat petunjuk, dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka berikut ketakwaan dari-Nya (QS.47:17). Wallahu a’lam bishowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar